Seandainya Aku adalah
Tuhan
Pemandangan biasa yang selalu aku lewati, dedaunan hijau
menari-nari mengikuti iringan angin, rumput-rumput pendek bergoyang-goyang
seirama, dan warna hijau mendominasi sejauh mata memandang. Tak ada pepohonan
yang sakit, semua tumbuh dengan subur, daun-daun hijau lebat senantiasa
memayungi pepohonan itu.
Tidak terbayangkan betapa indahnya melihat semua itu ketika
aku melewati jalan setapak ini, tertata rapi dengan batu-batu kali yang ditanam
di tanah. Perlahan berjalan menapaki jalan bebatuan ini, memandang hijaunya
rumput, berhati-hati agar tidak menginjaknya. Aku menikmatinya, jalan menuju
negeriku.
Semakin berjalan, semakin banyak yang bisa aku lihat.
Pemandangan berganti menjadi suatu tontonan yang tidak membosankan untuk
menemani perjalananku ini. Dari pepohonan dan rerumputan hijau, kali ini
bukit-bukit berjajar tidak beraturan. Terlihat dari jauh bukit batu berdiri
tegap menantang langit, diselingi sedikit rumput liar dan pohon kecil di badan
bukit. Memberi warna tersendiri untuk bukit-bukit itu, tidak hanya warna batu
saja yang terlihat, diselingi warna hijau nampak bukit semakin terlihat sedap
untuk dipandang.
“Ahh..!!Aku tidak
menyukai ini!!” Perkataan yang selalu muncul dalam hatiku ketika aku mulai
masuk ke perbatasan negeriku sendiri.
Di balik bukit-bukit batu yang baru saja aku lewati selalu
saja bersembunyi hal-hal buruk di baliknya. Bukan hanya pemandangan yang tidak
enak dipandang, rumah-rumah yang tidak tertata rapi, kelakuan orang-orang di
dalamnya, sungguh membuatku tidak ingin kembali ke negeriku sendiri. Tetapi apa
daya, aku lahir di negeri ini, aku membanting tulang untuk negeri ini.
Setidaknya aku tidak terlalu malu dengan semua ini, negeriku ini selalu
bersembunyi di balik bukit-bukit batu yang mengelilinginya, memberiku cukup
ketenangan tidak banyak orang lain melihat.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku dan penduduk lainnya
hanya bisa diam saja, menutup mulut rapat-rapat, mengaliri telinga dengan
keringat yang terus mengucur. Mencari kesibukan sendiri, terus bekerja untuk
tidak mendengarkan apa yang diperintahkan pada kami.
Seenaknya sendiri para penguasa memerintah, mengambil hak
kami seperti merampas permen dari anak kecil. Begitu mudahnya hak kami
dirampas, hak untuk hidup, hak untuk keadilan. Kami hanya lah rakyat yang tidak
punya apa-apa, terinjak-injak oleh orang yang lebih berada, diinjak layaknya
semut yang sedang berusaha mencari kehidupannya.
Uang menjadi senjata utama di negeri ini, menentukan hidup
mati seseorang. Seandainya saja aku dan penduduk lainnya punya uang, tidak akan
begini nasibku. Tidak akan mereka bisa mengambil nyawa anakku!! Nyawa yang
terbuang sia-sia hanya karena anakku dituduh mencuri beras. Tidak ada keadilan,
sang hakim yang katanya bijak, nyatanya dengan mudahnya mengetukkan palu, palu
yang mencabut nyawa anakku.
Dibalik semua itu
lagi-lagi uang lah yang berperan penting, orang-orang berada tidak ingin negeri
yang mereka akui sebagai negeri mereka ini penuh sesak oleh orang-orang tak
berguna seperti kami. Tidak ada yang bisa keluar dari negeri ini, kami
dipenjara di balik bukit-bukit batu. Hanya ketika kami bekerja paksa untuk
mengambil kekayaan alam kami boleh keluar dari negeri ini, itu pun hanya
sebentar. Mengangkut hasil alam yang sudah di dapat, membawanya dengan
tulang-tulang kurus kami.
Udara yang berbeda ketika kami keluar, udara kebebasan yang
begitu segar, udara yang sudah lama tidak kami hirup. Kebebasan, keadilan,
hidup layak.Itulah yang selalu aku teriak-teriakkan, teriakan keras dalam hati,
tidak mampu jika mulut kecilku ini harus berteriak keadilan, harus menuntut
kebebasan. Dengan mudah sabetan pedang akan mendarat di mulutku jika kata-kata
itu keluar dan terdengar banyak orang.
Seandainya aku adalah Tuhan, aku akan melakukan banyak hal untuk
negeri ini. Aku akan membutakan para hakim, akan aku ambil matanya, bukannya
hukum itu harusnya buta??!! Tidak akan ada hakim yang bisa melihat, tidak akan
tahu berapa uang yang ia dapat ketika disuap. Tidak akan bisa dia melihat mana
orang yang miskin, mana orang yang kaya. Dia hanya bisa mendengar, mendengar
dengan telinga mereka, mendengar dengan hati mereka, mendengar mana yang
merupakan kebenaran, mana yang merupakan kebohongan.
Para pemimpin negeri ini akan aku ambil mulutnya!!! Tidak perlu banyak
bicara, tidak perlu banyak memerintah sana dan sini. Tangan dan kaki lah yang
banyak bekerja, biarkan mereka bicara dengan bahasa isyarat, bicara seperlunya,
lebih banyak memberi contoh dari pada memerintah,lebih banyak bekerja dari pada
berbicara. Akan aku buat lubang yang lebih besar lagi di telinga mereka,
semakin jelas mendengar rakyatnya, dan semakin peka pada rakyatnya. Tapi
sayang aku bukanlah Tuhan, bukan seorang yang bisa melakukan segalanya.
0 komentar: